Antrean Haji di Indonesia: Sebuah Penantian Panjang
Antusiasme Tinggi, Antrean Mengular Puluhan Tahun
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki jumlah umat Islam yang sangat ingin menunaikan ibadah haji. Semangat yang membara ini sayangnya berbanding lurus dengan panjangnya antrean, yang di beberapa daerah bisa mencapai lebih dari empat dekade. Ibadah haji, rukun Islam kelima yang didambakan setiap muslim, menjadi ujian kesabaran bagi calon jemaah di Tanah Air.
Mengungkap Fakta di Balik Panjangnya Daftar Tunggu Haji
Kuota haji yang diberikan pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia didasarkan pada kesepakatan OKI, yaitu sekitar satu jemaah per seribu penduduk muslim. Dengan populasi muslim Indonesia yang melampaui 230 juta jiwa, permintaan untuk berhaji jelas jauh melebihi kuota yang tersedia. Pada tahun 2025, Indonesia mendapatkan kuota sebanyak 221.000 jemaah, yang terbagi menjadi 203.320 untuk jemaah reguler dan 17.680 untuk jemaah khusus. Kuota reguler ini pun dialokasikan lebih lanjut untuk jemaah yang berhak lunas sesuai urutan porsi, jemaah lansia prioritas, pembimbing KBIHU, dan petugas haji daerah.
Variasi Waktu Tunggu Haji di Berbagai Daerah
Lamanya waktu tunggu haji sangat bervariasi antarprovinsi, tergantung pada jumlah pendaftar dan kuota yang diterima. Data dari Kementerian Agama RI menunjukkan bahwa Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, memiliki estimasi waktu tunggu terlama, mencapai 47 tahun. Sementara itu, Kabupaten Maluku Barat Daya menjadi wilayah dengan antrean tersingkat, yaitu sekitar 11 tahun. Sebagai gambaran, berikut perkiraan waktu tunggu di beberapa provinsi lainnya: Aceh (34 tahun), Jawa Tengah (32 tahun), Jawa Timur (34 tahun), DKI Jakarta (28 tahun), Kalimantan Selatan (38 tahun), Sulawesi Tenggara (27 tahun), Sulawesi Selatan (47 tahun), Papua (13-39 tahun), dan Maluku (11-30 tahun). Calon jemaah dapat mengecek estimasi waktu tunggu yang lebih detail melalui laman resmi Kementerian Agama.
Hukum Berhaji Bagi yang Belum Berkemampuan
Menurut Ensiklopedia Fikih Indonesia karya Ahmad Sarwat, Lc, M.A., haji adalah ibadah wajib bagi setiap muslim yang mampu secara finansial dan fisik.
Kewajiban Gugur Bagi yang Tidak Mampu
Mayoritas ulama sepakat bahwa kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kemampuan. Bagi yang belum mampu, kewajiban ini gugur hingga mereka diberikan rezeki dan kesehatan untuk melaksanakannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surah Ali ‘Imran ayat 97 yang artinya, “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…” serta hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa bekal dan kendaraan adalah syarat wajib haji.
Kewajiban yang Boleh Ditunda
Mazhab Syafii berpandangan bahwa kewajiban haji bagi yang mampu tidak harus dilaksanakan segera, melainkan boleh ditunda. Landasan pandangan ini adalah praktik Rasulullah SAW yang hanya melaksanakan ibadah haji satu kali seumur hidupnya, meskipun beliau beberapa kali mengunjungi Makkah untuk umrah.
Skala Prioritas dalam Beribadah
Meskipun menunda haji bagi yang mampu tidak dianggap dosa, para ulama menekankan pentingnya membuat skala prioritas dalam beribadah. Hal ini bertujuan untuk mendahulukan ibadah yang lebih mendesak, seperti membayar zakat, dibandingkan ibadah lain yang sama-sama wajib namun waktunya lebih fleksibel.